aku manusia ….
Ku tutup mataku sekejap dan ku buka setengah sambil tertunduk. Berat mengangkat kepala berat mengangkat mata semua terasa tertunduk, terunduk sebuah kebingungan yang menimpa 16 tahunku. Malam lewat jam 12 hari ke dua 16 tahunku, aku bangun dari ranjang mimpi. Aku pergi ke dapur mencari sisa kue ulang tahun, duduk di kursi dekat perapian memandangi tetesan air hujan yang seolah memaksa masuk dari luar kaca jendela.
Seseorang mengetuk pintu, aku ketakutan sendiri. Kubukakan pintu, dan kulihat sosok berperawakan sedang diterangi cahaya lampu pijar teras tempat aku tinggal. Dia masuk, bicara lalu pergi. Entah apa yang ia maksud aku hanya termenung. Memerangi segala pikiran sampai aku ketiduran di dapur diatas meja makan, hingga pagi menyinari.
Ingin rasanya kamarku beres karena tak yakin aku beres.
Beberapa waktu setelah itu, dia yang mendatangiku masih sering mengetuk pikiran dan jiwaku. Aku coba untuk mengingat perkataan singkatnya itu, tapi tak satu katapun yang ku kenal padahal ku hapal betul gerak bibir di kesunyian ruang tamu malam itu. Aku bisa jelas melihat mata penuh keyakinan dan tepukan tangan dalam bayangan. Tak ada kenangan terang yang tersisa yang membuatku dapat tertawa, mungkin karena lampu yang tak menyala.
Hanya satu kalimat yang ku ingat jelas yang ia ucap di teras,
“menunggu, semua sanggup menunggu begitupun aku dan kamu.”
Aku memikirkannya setiap malam, setiap melewati detak jantung orang. Apakah benar yang kupikirkan? Kulupakan pikiran yang menggangu dan ku hanya menunggu.
Sementara ku menunggu aku mencari arti kebenaran atas kenyataan yang menimpa hidupku. Sebelumnya kupikir ini hanya kesalahan hidup yang akan hilang seiring berjalan kedewasaanku. Tapi sekarang aku yakin aku akan menang, kudapat keyakinan dari senyuman semalam. Senyuman semalam yang membutakan aturan, yang menghinakan picik mata orang dan kemenangan adalah hak atas orang yang percaya kebenaran.
Ku cari teman untuk bersama untuk mengirup udara dan kewenangan memiliki rasa. Dari mata kini tak lagi ada hina, dari raga kini tak ada lagi beda. Senang ku memiliki anak, anaknya dari senyuman biang lala. Sehingga sama ku merasakan, sebagai anak SMA.
Kujalani setiap hari bersama tawa, tawa yang tak kan pernah ku lepas hilang. Aku pergi sekolah setiap senin sampai sabtu seperti biasa. Aku pergi ke rumah teman sepulang sekolah, kadang kami meminjam film dari rentalan dan menontonnya bersama, kadang hanya jalan-jalan di jalan raya. Aku mencoba menjalani kehidupanku sebagaimana anak pada usiaku walau ku tahu itu hanya pura-pura, tapi selagi aku bisa aku tidak akan berhenti mencoba.
Hari minggu, kalau tidak ada rencana dengan teman-teman aku biasanya kembali pada garis hidupku dan menikmati detik-detik dalam satu hari itu. Kadang aku menyapa kalbu kadang aku menghidupkan jiwa dan kadang aku bertemu mata yang bercerita. Inilah hidupku, aku hanya punya satu hari dalam seminggu; untuk merasakan nafas yang ku hirup, untuk tahu berjalan menapaki bumi, untuk memeluk hangat cahaya pagi dan malam yang menghidupkan nafsu bintang-bintang dan angin disela-sela daun-daun pepohonan.
…….
Hampir dekat ulang tahun ke 17-ku. Aku mulai didatangi kenangan masa lalu, kenangan setahun lalu. Kali ini aku tak bisa mengacuhkannya tak bisa kulupakan semakin ku berusaha semakin aku teringat. Aku bertanya-tanya dalam hati,
“apa ia akan datang lagi?”
“apa ia akan mengetuk pintu lagi?”
“apa ia akan memberi senyum lagi?”
“apa ia akan menepukku lagi?”
Aku semakin penasaran dan tak sabar menunggu 17 tahunku datang.
Tiba 17 tahunku, aku tidak menunggunya dimalam pertama karena tahun lalu ia datang di malam ke dua. Dan memang benar dia tidak datang dimalam pertama. Tetapi, saat fajar hampir habis saat ku selesai sembahyang shubuh, langkahku terhenti, aku terkejut melihatnya, tersenyum. Aku dan dia masuk ke kamarku dan lagi-lagi sedikit bicara. Tapi kini entah kenapa aku merasa senang dan tak pedulikan kebingungan. Kali ini aku tak lupa kata-katanya dan aku memutuskan untuk pergi ketika dia mengajak.
Saat fajar meredup dan pagi matahari bersinar aku bergegas ke sekolah. Aku datang pagi sekali, menunggu satu persatu teman-temanku. Aku tidak sabar bertemu mereka. Sehari itu aku berusaha berpura-pura tidak terjadi apa-apa dan bertingkah seperti biasa. Sebelum pulang sekolah aku meminta teman-teman yang dekat denganku tidak dulu pulang karena aku ingin berpamitan. Dan ku meninggalkan mereka dengan sedikit kisahku yang mungkin akan menjadi kenangan tersendiri dalam lembaran kertas yang ku buat khusus bagi mereka. Dan didalamnya ada sedikit ungkapan isi hatiku untuk mereka.
Walaupun berat ku harus meninggal dari kehidupanku yang sekarang tapi aku tak kan menyesal karena ku dapat imbalan yang setimpal. Aku mendapatkan tempatku atas kewenangan kemanusiaan dan ku dapat hak tak sendirian. Aku bahagia tak perlu lagi hidup berpura-pura, sehingga sama yang ku dapat sebagai manusia. Kini aku punya sesuatu yang bisa aku sebut keluarga.